Tuesday, May 3, 2011

Suara Langit

Menyinggung pengalaman beberapa hari yang lalu, melalui sebuah diskusi saya dengan seorang rekan, saya kembali mendapat ini: sebuah pemahaman tentang salah satu sisi kehidupan. Saya sebut ini 'wahyu kecil' atau 'suara langit'.

Ini tentang alasan mengapa kami, para single fighter, belum jua dipertemukan dengan sang 'the one'nya. Alasannya ternyata sangat sederhana: Tuhan ingin kita mempersiapkan diri lebih matang untuk kemudian menjadi pantas bersanding satu sama lain kelak.
Indah bukan?
Karena Tuhan pastinya tidak menuliskan jalan hidup umatNya tanpa rencana, tanpa alasan. Ia terlalu pintar, terlalu luar biasa untuk tidak merakit sedemikian kompleks setiap detail unsur kehidupan menjadi sesuatu yang simpel nan sederhana agar kita umatNya kemudian mampu mengerti tanpa harus menyandingiNya.


Pemahaman lain kemudian muncul, kali ini tentang keikhlasan.
Pernah saya mengatakan bahwa saya selalu berdoa untuk menjadi pribadi yang ikhlas. Ternyata Tuhan pun, walaupun Ia Maha Pengasih, tidak sekonyong-konyong mengabulkannya begitu saja. Ia ingin umatNya belajar. Memahami lewat proses.
Itu yang saya alami lewat kejadian kecil-namun-dalam kemarin. Walau menyakitkan, di sanalah sebuah proses terjadi. Proses menuju ikhlas. Dan tanpa saya sadari, itulah jawaban Tuhan atas doa saya. Allah gave me a problem to be solved, and let me learn to be ikhlas in my own way.
In my own way. Ya, Tuhan selalu mengerti bagaimana menyikapi setiap umatNya. Bahkan dengan kepribadian manusia yang berbeda-beda tiap individu, Ia selalu bisa mencocokkan dan memasukkan diriNya dengan pas kepada umatNya tersebut. Dan saya adalah tipe seorang yang tidak mau diatur terkait "cara". Karena bagi saya, cara bukanlah sesuatu yang mestinya diseragamkan. Kalau tujuannya sama, dengan hasil yang akan sama pula, kenapa tidak boleh berimprovisasi dalam cara?
Itulah mengapa saya bilang Tuhan selalu bisa menyikapi umatNya dengan tepat. Ia menyikapi saya hanya dengan memberikan umpan, dan membiarkan saya menyelesaikan sendiri segalanya. Dengan cara saya sendiri.



Dan saya mengerti.
Makin saya merenungkan segala yang Tuhan berikan pada saya, makin saya tidak berhenti melantunkan syukur. Indah sekali ketika kau akhirnya mengerti bahwa apa yang terlihat buruk di permukaan tidak selalu buruk pula di dalamnya. Maka saya setuju sekali kepada mereka yang tidak langsung menjugde sesuatu tanpa lebih dahulu menguliknya, mengajinya. Segala sesuatu punya makna implisit, punya hikmah.
Seperti saya dan sahabat saya, Listya Ariputri, setujui bersama dalam sebuah diskusi kami pagi itu tentang Persagi dan Mooi Indie.
Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) adalah sebuah gerakan yang didirikan dan beranggotakan pelukis-pelukis Indonesia pada masa itu yaitu sekitar tahun 1937/1938. Didirikan bukan semata-mata hanya ingin berkumpul, melainkan bertujuan untuk turut andil menggalakkan semangat nasionalisme rakyat Indonesia melalui seni. Selain itu juga untuk menemukan atau merumuskan jati diri keseni-rupaan Indonesia yang pada saat itu banyak terpengaruh oleh gaya asing, terutama barat.
Sedangkan Mooi Indie adalah sebuah aliran lukisan yang bercirikan pemandangan alam, melukiskan keindahan serta kemolekan sesuatu terutama lanskap alam. Istilah “Mooi Indie” sendiri sejatinya adalah cemoohan para seniman beraliran lain (kecaman serupa datang lebih intens dari pihak Persagi yang umumnya beraliran realisme).
Di sinilah saya dan Tya melihat suatu ketidak-adilan. Bukankah mereka sama-sama pelukis? Sama-sama seniman dan lebih umum lagi, manusia, yang punya hak sama dalam mengekspresikan diri dan menciptakan sebuah karya? Juga hak sama dalam memilih sesuatu yang lebih “pas” dengan dirinya? Lalu kenapa harus diseragamkan? Kenapa harus menuai cemooh dan kecaman? Padahal dibalik semua keindahan yang dilukiskan Mooi Indie, ada suatu pesan yang kurang lebih sama dengan tujuan Persagi sendiri: mengingatkan rakyat Indonesia bahwa alam Nusantara itu terlalu indah dan berharga untuk diberikan cuma-cuma kepada penjajah. Kenapa mereka Persagi tidak mengulik dahulu mereka kaum Mooi Indie dan langsung menjudge saja bahwa mereka tidak peduli akan keadaan bangsa dan hanya melukiskan yang indah-indah saja, padahal tidak begitu?

5 comments:

Listya Ari said...

awawaw! nggantung! >________<"
layaknya sebuah 'puisi ompong', kehilangan sebuah 'bait' penting sebagai sebuah penutup.

asik. bahasa gue sok. oke. lupakan. tapi itu beneran kaya paragraf rumpang? tumpang? yang masih titik2 itu lho.

alah. gue ngmg apa coba. *abaikan

Donna Ayu Savanti said...

Heh? Nggantung gimana? Kayak belum tuntas ya tulisannya? Aku juga ngerasa gitu sih, tapi ya gimana ya... Udah habis kata2. Lagian udah males ngebahas persagi-mooi indie. Kecuali Pak Budhi kembali. KECUALI.

Listya Ari said...

heem. benul sekali. AAAKH MPUDIII!! *nangis

Donna Ayu Savanti said...

Aku serius kangen diajar Pak Budhi... T^T
Kalo Bapak yang satunya itu *dilarang sebut merk*, 15 menit aja berasa satu jam... Lama buangeeeeet, aku bete

Listya Ari said...

lo kata gue kaga? hadeeh bosen byasaaaa-________________-"
bolak balik liat jam, ga kelar2