Friday, July 30, 2010

Sebuah Catatan Dini Hari

Gue bisa senyum-senyum sendiri atau bahkan ketawa kalo mengingat “kebiasaan” atau “ritual” kecil gue dan teman-teman P.I.P.I.S gue yang satu ini: menggoda beberapa teman P.I.P.I.S gue yang memiliki ciri fisik ras mongoloid alias keturunan Chinese. Bercanda, tentu saja –walau mengandung SARA sih. Tapi menggodanya bukan dengan meledek atau menghina lho. Hanya sedikit “memaksa” mereka untuk “mengaku” kalau mereka itu warga keturunan (karena sebagian dari mereka benar-benar tidak mau mengakui bahwa mereka memiliki keturunan Chinese, padahal cermin pun mampu membuktikannya). Untung saja mereka tidak pernah marah atau menganggap bercandaan itu serius sehingga tersinggung.

Ada satu fakta menarik yang gue baca di buku MEMBONGKAR MANIPULASI SEJARAH karya Asvi Warman Adam, bahwa ternyata ada “wacana” baru yang menyatakan bahwa beberapa dari Walisanga adalah merupakan orang Chinese atau setidaknya keturunan. Gue lalu berusaha mencari sumber lebih banyak lewat internet, tapi kurang lebih yang gue dapat sama:
Prof Slamet Mulyana pernah berusaha untuk mengungkapkan hal ini dlm bukunya "Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara", tetapi pada th 1968 dilarang beredar, karena masalah ini sangat peka sekali dan mereka menilai menyakut masalah SARA. Kenapa demikian?

Bayangkan saja yg mendirikan kerajaan Islam pertama di Jawa adalah orang Tionghoa, bahkan Sultan nya yg pertama pun adalah orang Tionghoa: Chen Jinwen alias Raden Patah alias Panembahan Tan Jin Bun/Arya (Cu-Cu).

Walisongo atau Walisanga yg berarti sembilan (songo) Wali, tetapi ada juga yg berpendapat bahwa perkataan songo ini berasal dari kata "tsana" yg berarti mulia dlm bhs Arab sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa kata tsb berasal dari kata "sana" dlm bhs Jawa yg berarti "tempat"

Para wali tsb mendapatkan gelar Sunan, yg berarti guru agama atau ustadz, namum perkataan Sunan itu sebenarnya diambil dari perkataan "Suhu/Saihu" yg berarti guru dlm bhs dialek Hokkian, sebab para wali itu adalah guru2 Pesantren Hanafiyah, dari mazhab (sekte) Hanafi. "Su" singkatan dari kata "Suhu" dan "Nan" berarti selatan, sebab para penganut sekte Hanafi ini berasal dari selatan Tiongkok.

Perlu diketahui bahwa sebutan "Kyai" yg kita kenal sekarang ini sebagai sebutan untuk guru agana Islam setidak-tidaknya hingga jaman pendudukan Jepang masih digunakan untuk panggilan bagi seorang lelaki Tionghoa Totok, seperti pangggilan "Encek".

Walisongo ini didirikan oleh Sunan Ampel pada th. 1474. Yg terdiri dari 9 wali yaitu:

Sunan Ampel alias Bong Swie Ho
Sunan Drajat alias Bong Tak Keng
Sunan Bonang alias Bong Tak Ang
Sunan Kalijaga alias Gan Si Cang
Sunan Gunung Jati alias Du Anbo - Toh A Bo
Sunan Kudus alias Zha Dexu - Ja Tik Su
Sunan Giri adalah cucunya Bong Swie Ho
Sunan Muria
Maulana Malik Ibrahim alias Chen Yinghua/Tan Eng Hoat

Sunan Ampel (Bong Swie Ho) alias raden Rahmat lahir pada th 1401 di Champa
(Kamboja), ia tiba di Jawa pada th 1443. Pada saat itu di Champa banyak
sekali orang Tionghoa penganut agama Muslim yg bermukim disana. Pada th 1479
ia mendirikan Mesjid Demak. Ia juga perencana kerajaan Islam pertama di Jawa
yang beribu kota di Bintoro Demak, dengan mengangkat Raden Patah alias Chen
Jinwen - Tan Jin Bun sebagai Sultan yang pertama, ia itu puteranya dari Cek
Kopo di Palembang.

Orang Portugis menyebut Raden Patah "Pate Rodin Sr." sebagai "persona de
grande syso" (orang yg sangat bijaksana) atau "cavaleiro" (bangsawan yg
mulia), walaupun demikian orang Belanda sendiri tidak percaya moso sih
sultan Islam pertama di Jawa adalah orang Tionghoa. Oleh sebab itulah
Residen Poortman 1928 mendapat tugas dari pemerintah Belanda untuk
menyelidikinya; apakah Raden Patah itu benar2 orang Tionghoa tulen?

Poortman diperintahkan untuk menggeledah Kelenteng Sam Po Kong dan menyita
naskah berbahasa Tionghoa,dimana sebagian sudah berusia 400 tahun sebanyak
tiga cikar/pedati. Arsip Poortman ini dikutip oleh Parlindungan yang menulis buku yang juga kontroversial Tuanku Rao, dan Slamet Mulyana juga banyak menyitir dari buku ini.

Pernyataan Raden Patah adalah seorang Tionghoa ini tercantum dlm Serat Kanda Raden Patah bergelar Panembahan Jimbun,dan dalam Babad Tanah Jawi disebut sebagai Senapati Jimbun. Kata Jin Bun (Jinwen) dalam dialek Hokkian berarti "orang kuat".

Cucu Raden Patah Sunan Prawata atau Chen Muming/Tan Muk Ming adalah Sultan terakhir dari Kerajaan Demak, berambisi untuk meng-Islamkan seluruh Jawa, sehingga apabila ia berhasil maka ia bisa menjadi "segundo Turco" (seorang Sultan Turki ke II) setanding sultan Turki Suleiman I dengan kemegahannya.
(sumber: http://www.facebook.com/topic.php?uid=39857034421&topic=7118)
ATAU
Sejarawan Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa Walisongo adalah keturunan Tionghoa Indonesia. Pendapat tersebut mengundang reaksi keras masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo adalah keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya buku tersebut.
Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa Walisongo berasal dari atau keturunan Tionghoa sampai saat ini masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud hanya dapat diuji melalui sumber akademik yang berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk kepada tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk kepada seseorang yang bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga sekarang belum bisa diketahui identitasnya serta kredibilitasnya sebagai sejarawan, misalnya bila dibandingkan dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C. van den Berg. Sejarawan Belanda masa kini yang banyak mengkaji sejarah Islam di Indonesia yaitu Martin van Bruinessen, bahkan tak pernah sekalipun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat detail dan banyak dijadikan referensi.
Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries adalah yang ditulis oleh Russell Jones. Di sana, ia meragukan pula tentang keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan bernama lain, seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan mengingat ceritanya yang cukup lengkap dalam tulisan Parlindungan
(sumber: Wikipedia)


Terlepas dari benar-tidaknya wacana itu, gue merasa peran orang Chinese atau keturunan di Indonesia itu sebenarnya tidak bisa dipandang sebelah mata. Contohnya John Lie. Beliau yang gue catat di buku catatan sejarah SMA gue hanya dengan keterangan “penyelundup senjata” (tanpa keterangan lebih lanjut) ternyata adalah orang yang luar biasa. Kata “penyelundup” yang notabene bermakna kurang baik ternyata telah sangat berjasa dalam proses mempertahankan kemerdekaan. Setidaknya lewat penyelundupan-penyelundupan yang beliau lakukan, kas Negara sedikit-sedikit dapat terisi, aparat pun dapat pasokan senjata yang “agak” modern dari Singapura. Jasa siapa? John Lie! Mungkin terkesan jasa kecil. Tapi bukankah tidak ada besar tanpa sesuatu yang kecil?

Teman-teman gue yang keturunan juga tentu saja tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka pintar-pintar dalam bidangnya masing-masing. Seperti Andre dengan kemampuan bersastranya dan pengetahuan umumnya yang luar biasa. Atau Recia dengan ketekunannya dan kemampuan manajemennya yang apik. Dan yang lainnya. Maksud gue menulis ini adalah, sebenarnya gak ada yang perlu ditakuti kan dari mengaku “saya warga keturunan tiong hoa”, mengakulah seperti dengan bangga kita semua mengaku “saya orang Indonesia”. Atau gue mengaku “gue Donna dan gue bangga” atau secara umum dapat diwakili dengan kalimat: “I am what I am and I’m proud.”




P.S:
Gue baru tau kalau istilah SARA (Suku, Agama, Ras, Antar-etnis) mulai populer di rezim Orde Baru. Tau gitu mah gak gue pake ya tadi di atas? Entah kenapa gue kayaknya antipati banget sama OrBa, padahal gue belum ngerti waktu gue merasakan OrBa selama 5 tahun gue hidup. Mungkin gue adalah salah satu produk ‘bullshit’ yang percaya cuma karena membaca, atau terpengaruh guru sejarah. Tapi gue gak salah dong, agama pun begitu kan? “Memaksa” kita untuk percaya meski belum pernah kita melihat-Nya.
Selain itu istilah G-30-S/PKI itu sebenarnya juga istilah yang diharuskan dipakai pada rezim Orde Baru. Sebetulnya peristiwa kudeta para jendral angkatan darat tahun 1965 itu menurut Asvi Warman Adam tidak sepatutnya dicap ‘saklek’ PKI. Karena sampai sekarang pun (walaupun sudah jelas sih PKI berperan banyak di dalamnya) masih simpang siur kabar siapa dalangnya dan siapa saja pihak yang terlibat. Tidak ‘pure’ PKI yang melaksanakannya. Ada baiknya kita menyebut ‘peristiwa hitam’ itu sebagaimana para pelakunya menamai gerakan tersebut: Gerakan Tiga Puluh September. Tidak Gestapu (karena menyalahi khaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar), atau Gestok (istilah yang dipakai Bung Karno), atau G-30-S/PKI.

No comments: