Saturday, April 30, 2011

Ini Dosa, Aku Tahu, tapi Biarlah...

Aku ingin menuntut-Mu, Tuhan... Sungguh. Tapi kemudian kau memberiku kesempatan untuk berpikir ulang. Tidak adil.
Aku ingin mengintrogasi-Mu, Tuhan... Sungguh. Tapi kemudian kau memberiku kesempatan untuk menjawab rentetan pertanyaanku sendiri. Tidak adil.

Dari semua daftar pertanyaanku, satu yang belum terjawab: Kenapa engkau tidak membiarkanku setidaknya mencoba? Mencoba merasakan, menjalani, lalu mempertahankan? Kenapa?
Kemudian muncul pertanyaan lain: Apa aku sebegitu rendah dan tidak layak untuk sekedar mengalami?

Tuhan, orang bilang ini semua hanya masalah waktu: suatu hari nanti pasti akan tiba masaku. Tapi apa mampu sesuatu-yang-ada-di-dalam-dada ini bertahan? Berkali-kali sakit yang sama ia tanggung. Apa ia sekuat itu untuk menunggu tiba masaku?

Aku berdosa, Tuhan. Aku telah memforsir kelenjar air mataku begitu kejam. Kupaksa ia bekerja tanpa lelah untuk satu sakit yang sama, beda sebab. Itu pula yang kulakukan pada sesuatu-yang-ada-di-dalam-dadaku. Apa Engkau akan menambah hukumanku karena itu?

Tuhan, aku iri. Engkau memberikan orang lain kesempatan untuk setidaknya mencoba, merasakan, mengalami... Tapi tidak denganku. Apa Kau anggap aku kuat? Engkau anggap aku bisa? Padahal aku muak dengan segala sakit ini.

Pahit menjalar ke lidahku. Aku benar-benar sakit. Engkau tahu padahal tidak mudah untuk akhirnya memutuskan untuk melangkah maju, tapi kembali Kau siksa aku. Apa aku memang pantas? Atau malah memang sudah nasibku?

Nasibku untuk selalu jadi cameo. Yah, bolehlah, sesekali memang naik pangkat jadi peran pembantu yang berguna untuk menghibur peran utama. Sekedar menghibur. Apa aku begitu "lucu" hingga selalu berguna hanya sebatas itu? Bisakah aku terima peran lain? Terima naskahku yang lain? Yang tidak ada scene di mana aku harus tersenyum di atas tangisku, di mana aku bisa jujur demi kebahagiaanku sendiri, di mana sesekali aku bisa egois?

Tidak cukupkah 3 tahun lamanya aku berkutat dengan peran yang sama? Lalu ketika aku memutuskan untuk maju, masih saja kuterima naskah bergenre sama. Apa karena aku Kauanggap sudah profesional ya?


Aku tertawa getir, dengan mata dan hidung yang basah... Dadaku sesak, juga sakit.
Aku harus apa? Sekali lagi: Aku harus apa, Tuhan?
Aku bisa apa?



Sudah aku mengenal banyak lem selama aku hidup. Tapi adakah yang bisa menyatukan kembali sesuatu yang telah terurai? Kalaupun ada, tetap saja ada retak yang akan terlihat.
Dan luka hati tidak bisa disembuhkan, kecuali oleh waktu.


Sungguh aku tidak mengerti plot naskah hidupku, Tuhan. Bolehkah aku membantu-Mu menuliskan naskahku sendiri agar tak perlu lagi Engaku repot2 mengurusku?
Aku tetap umat-Mu kok, tenang saja. Aku tidak akan mungkin sempat berpikir untuk menyaingimu untuk menjadi maha segala maha. Lagian males juga ya ngurusin semua makhluk di alam semesta ini. Gak ada yang sanggup kecuali Engkau. Aku cuma ingin mengatur hidupku sendiri. Bolehkah?


Hukum aku, Tuhan, karena menulis ini. Ambil cepat aku, karena sesungguhnya aku tidak seberani itu untuk hidup.
Aku ini replaceable. Jadi tidak usah khawatir orang lain akan sedih dengan ketidak-hadiranku. Ah, hukum aku, Tuhan, karena berkata sepesimis ini. Sungguh, aku putus asa.




Untuk mereka yang pernah kuanggap bodoh karena bunuh diri akibat patah hati: MAAF.
Kini aku tahu rasanya, tapi aku tidak akan pernah mengikuti kalian. Nyawaku kuasa Tuhanku. Aku tidak berhak mengambilnya meski itu dititipkan padaku. Aku tidak tega mendzalimi amanat Tuhanku. Semoga saja.

2 comments:

Lalita Haibara said...

don, ak izin nge-link ini d blog.ku yah. sekalian ngelink blogmu :) . Gilang 'lalita' *berasa sms*

Donna Ayu Savanti said...

Hahaha.. Aku baru baca komenmu. Katrok banget nih saya :D
Iya, iya... Monggo, gak papa :D